Janji yang Kulepaskan Dengan Pasrah Hujan kota malam itu seperti dejavu. Setiap tetesnya menari di kaca jendela kafe, memantulkan lampu ne...

Dracin Seru: Janji Yang Kulepaskan Dengan Pasrah Dracin Seru: Janji Yang Kulepaskan Dengan Pasrah

Dracin Seru: Janji Yang Kulepaskan Dengan Pasrah

Dracin Seru: Janji Yang Kulepaskan Dengan Pasrah

Janji yang Kulepaskan Dengan Pasrah

Hujan kota malam itu seperti dejavu. Setiap tetesnya menari di kaca jendela kafe, memantulkan lampu neon jalanan yang redup. Persis seperti malam pertama kita bertemu. Notifikasi itu yang memulai semuanya. Sebuah kesalahan kirim, mungkin, atau takdir yang menyamar jadi angka random di layar ponsel.

Aku ingat aroma kopi Caramel Macchiato yang kau pesan, senyummu yang teduh, dan obrolan kita yang mengalir tanpa jeda. Malam itu, di antara dentingan cangkir dan riuh rendah suara pengunjung, benih cinta mulai tumbuh.

Kita membangun dunia sendiri di antara chat larut malam, meme konyol, dan janji-janji manis yang terucap dengan mudah. Janji tentang masa depan, tentang kita, tentang selamanya.

Namun, selamanya itu ternyata lebih singkat dari satu musim gugur.

Semuanya mulai berubah perlahan. Balasan chat yang semakin lama, panggilan telepon yang semakin jarang, dan tatapan mata yang semakin kosong. Aku merasa ada jarak yang menganga di antara kita, jurang yang tak mampu kujangkau.

Aku mencoba bertanya, tapi kau selalu menghindar. Kau hanya tersenyum samar, lalu berkata, "Tidak ada apa-apa." Bohong. Aku merasakan ada sesuatu. Sesuatu yang besar, sesuatu yang menyakitkan.

Sisa chat yang tak terkirim menumpuk di draft. Kata-kata yang tak pernah terucap, pertanyaan yang tak pernah terjawab, dan harapan yang perlahan mati. Aku mencarimu di setiap sudut kota, di setiap kafe yang pernah kita kunjungi, di setiap lagu yang pernah kita dengarkan bersama. Tapi kau hilang, seperti asap yang tertiup angin.

Mimpi buruk mulai menghantuiku. Mimpi tentangmu, tentang dia, tentang sebuah rahasia yang tersembunyi di balik senyum manismu.


Suatu hari, aku menemukan foto itu. Foto kau dan dia, berpegangan tangan di pantai. Matahari terbenam menyinari wajah kalian, menciptakan siluet bahagia yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.

Semuanya jelas sekarang. Kau tidak menghilang begitu saja. Kau hanya menemukan pelabuhan baru.

Rasa sakit itu begitu menggigit, begitu nyata. Aku ingin marah, aku ingin berteriak, aku ingin membalas dendam. Tapi, aku memilih untuk melepaskan. Aku memilih untuk memaafkanmu, bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri.

Aku menghapus semua fotomu, semua chat kita, semua kenangan yang menyakitkan. Aku memblokir nomor teleponmu, aku berhenti mengikuti akun media sosialmu. Aku membersihkan diriku dari segala sesuatu yang berhubungan denganmu.

Balas dendamku sederhana. Aku melanjutkan hidup.

Aku menemukan kebahagiaan baru, cinta baru, dan mimpi baru. Aku belajar untuk mencintai diriku sendiri, untuk menghargai diriku sendiri, dan untuk tidak pernah lagi bergantung pada janji-janji manis.


Suatu malam, saat hujan kembali turun, aku menerima sebuah pesan. Nomor yang tidak kukenal.

"Maafkan aku."

Aku tersenyum. Senyum yang ringan, senyum yang bebas. Aku mengetik satu kata balasan, lalu menekan tombol kirim.

"Lupakan aku."

Kemudian aku mematikan ponselku, berjalan menuju jendela, dan menatap hujan yang semakin deras. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

Aku merasa kosong... namun entah mengapa, juga... lega.

You Might Also Like: 91 Tutorial Sunscreen Mineral Dengan

0 Comments: