Cinta yang Kembali Dalam Kenangan
Lorong Istana Timur, malam itu, diliputi keheningan yang menyesakkan. Bulan sabit pucat mengintip dari balik awan, cahayanya yang redup menari-nari di atas lantai marmer yang dingin. Di ujung lorong, sosok berpakaian serba hitam berdiri mematung, punggungnya menghadap gerbang istana. Rambutnya yang panjang terurai, bagai sungai tinta yang menutupi wajahnya.
"Kau kembali, A-Wei," suara itu pelan, namun menggema di antara pilar-pilar istana. Putri Lian, mengenakan gaun sutra putih dengan sulaman phoenix perak, mendekat dengan langkah anggun. Wajahnya yang cantik menyimpan guratan kesedihan yang mendalam.
Sosok itu berbalik perlahan. Matanya, setajam belati, menatap Putri Lian. "Setelah sepuluh tahun, Putri. Apakah Anda merindukan saya?" Suaranya berat, penuh ironi.
"Semua orang mengira kau sudah mati di Pegunungan Wu," jawab Putri Lian, suaranya bergetar. Kabut tebal yang menyelimuti pegunungan itu telah menelan banyak nyawa.
"Kematian hanyalah topeng, Putri. Saya hanya bersembunyi, mengumpulkan kekuatan." A-Wei melangkah mendekat. Aura misteri menguar dari dirinya, bagai aroma dupa yang memabukkan. "Atas perintah siapa Anda mengirim saya ke sana? Atas nama cinta?"
Putri Lian terdiam. Cahaya bulan menyoroti air mata yang mengalir di pipinya. "Itu demi kebaikan kita semua, A-Wei. Ayahku... Kaisar... dia..."
"Kaisar takut. Takut akan kekuatanmu, takut akan garis keturunanmu yang lebih mulia darinya. Dia ingin kau mati. Dan kau menggunakan saya sebagai tameng." A-Wei tersenyum sinis. Senyum yang tidak sampai ke matanya.
"Aku... aku mencintaimu!" Putri Lian memohon.
"Cinta? Cinta adalah kata yang sering diucapkan di istana ini, namun sangat jarang dipraktikkan." A-Wei mengangkat tangannya. Sebuah jepit rambut phoenix emas berkilauan di tangannya. Jepit rambut yang sama yang ia berikan kepada Putri Lian malam sebelum ia dikirim ke Pegunungan Wu. "Kau memberikan ini padaku sebagai tanda cintamu. Namun di saat yang sama, kau mengirimku ke kematian."
Putri Lian jatuh berlutut. "Ampuni aku, A-Wei! Aku hanya boneka di tangan ayahku!"
A-Wei mendekat, berjongkok di hadapan Putri Lian. Tatapannya menusuk, penuh perhitungan. "Boneka, katamu? Lalu, siapa yang menarik benang-benang itu, Putri? Siapa yang membisikkan rencana licik ke telinga Kaisar? Siapa yang menciptakan ilusi pengkhianatan hingga aku diusir?"
Putri Lian mengangkat wajahnya. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Senyum yang dingin dan berbahaya. "Aku, tentu saja, A-Wei. Aku yang menciptakan semua ini. Aku yang mengendalikan semuanya. Dan sekarang, saatnya untuk mengklaim apa yang menjadi hakku."
A-Wei terdiam. Semua kepingan puzzle itu akhirnya menyatu. Kengerian merayapi wajahnya.
"Kau pikir aku adalah korban, A-Wei? Oh, betapa naifnya dirimu. Kau hanyalah pion dalam permainanku. Dan kini... matamu sudah tak lagi berguna bagi Ratu."
You Might Also Like: Supplier Skincare Tangan Pertama Jualan
0 Comments: