Kabut pagi melukis Danau Bulan Sabit dengan warna perak pucat. Di sana, di tepi air yang tenang, aku berdiri. Bukan aku yang kau kenal sekarang, tapi sisa dari ribuan reinkarnasi. Setiap kehidupan adalah lukisan yang belum selesai, coretan takdir yang terputus oleh kepergianmu.
Dulu, di Dinasti Awan Emas, aku adalah pelukis istana, jariku menari di atas sutra, menciptakan burung phoenix yang terbang menembus awan. Kau, sang putri, adalah mentari yang menyinari studiku, tawamu adalah melodi yang menginspirasi setiap goresan kuas. Namun, kertas itu robek, kuas itu patah, ketika kau memilih takhta daripada cinta kita.
Di era Republik Bunga Sakura, aku adalah seorang penyair, merangkai kata-kata bagai untaian mutiara, menenun puisi tentang kerinduan dan harapan. Kau, sang geisha, adalah bulan purnama yang menerangi malam-malamku, senyummu adalah bait terindah yang tak pernah tertuliskan. Tapi, malam itu terlalu sunyi, syairku terlalu pilu, karena kau pergi mengikuti takdir yang bukan milikku.
Kemudian, aku adalah seorang musisi jazz di era kota-kota berdosa. Kau, sang penyanyi blues, adalah melodi yang menyayat hati, suaramu adalah ratapan jiwa yang terluka. Kami menciptakan musik yang membius dunia, namun nada terakhir selalu berbunyi patah, ketika kau memilih gemerlap panggung daripada debar jantungku.
Di setiap era, di setiap reinkarnasi, polanya sama: cinta yang membara, harapan yang mengangkasa, dan kepergianmu yang menghancurkan segalanya. Apakah aku ditakdirkan untuk selalu menjadi orang yang kau tinggalkan? Apakah ini kutukan abadi, diukir dalam tinta takdir yang tak bisa diubah?
Suatu malam, di reruntuhan kuil kuno yang tertutup lumut, aku menemukan sebuah lukisan. Bukan lukisanku, bukan pula lukisan orang lain. Lukisan itu menampilkan diriku, di setiap reinkarnasi, berdiri di tepi Danau Bulan Sabit, menatap ke kejauhan dengan mata yang penuh KESEDIHAN. Di belakangku, di setiap lukisan, siluet dirimu tampak memudar, semakin menjauh, seolah menghilang ke dalam kabut waktu.
Dan di sana, di sudut bawah lukisan yang paling akhir, tertulis sebuah kalimat dalam aksara kuno: "Dia bukan orang yang kau tinggalkan. Dia adalah jangkar yang selalu membawamu kembali."
Misteri terpecahkan. Aku bukanlah orang yang kau tinggalkan. Aku adalah rumah, tempat jiwamu selalu kembali, meskipun hanya untuk sesaat. Tapi, keindahan pengungkapan ini justru menorehkan luka yang lebih dalam. Karena, aku tahu, kau akan pergi lagi.
...Bisakah kau mendengar bisikan angin, cinta?
You Might Also Like: Unveiling Downfall Of F Lee Bailey From
0 Comments: