Kabut pagi menyelimuti Kota Terlarang, sama halnya dengan kabut keraguan yang menyelimuti hatiku. Dulu, di bawah langit biru yang sama, kita bersumpah. Di atas altar giok yang dingin ini, kita berjanji akan selamanya. Selamanya. Kata itu kini bergaung seperti kutukan.
Jejak kakiku di atas bebatuan yang basah terasa begitu berat. Berat karena membawa beban kenangan, beban harapan yang hancur, beban janji yang DIKHIANATI. Setiap langkah menjauh dari paviliun tempat terakhir kali kulihat matamu adalah pengkhianatan baru. Pengkhianatan pada janji kita, pada cintaku, pada diriku sendiri.
Kau berdiri di sana, siluet agung seorang kaisar yang baru dinobatkan. Jubah naga keemasanmu berkilauan tertimpa mentari pagi, menyilaukan. Tapi matamu, matamu yang dulu penuh cinta dan kehangatan, kini sedingin es. Di sampingmu, berdiri selir kesayanganmu, senyumnya memenangi sebuah pertempuran tanpa darah.
Aku ingat hari itu. Hari ketika kau memelukku erat, berbisik bahwa meskipun takhta memanggil, hatimu hanya untukku. Kau berjanji akan melindungiku, melindung cintaku, melindung masa depanku. Kau berjanji... dan kemudian kau melanggar semuanya dengan SEMPURNA.
Momen itu. Momen ketika tatapan kita bertemu di tengah kerumunan para pejabat istana, setelah pengumuman pernikahanmu dengan Putri Mongol. Momen ketika aku melihat penyesalan berkelebat di matamu, sebelum kau menutupi semuanya dengan topeng kekuasaan yang dingin. Momen itu menghancurkan segalanya. Semua harapan, semua impian, semua cinta.
Air mataku membeku di pipi. Aku tidak menangis karena kesedihan, tapi karena kemarahan. Karena rasa sakit yang begitu menusuk hingga terasa membakar. Aku berjalan, terus berjalan, meninggalkanmu, meninggalkan Kota Terlarang, meninggalkan kehidupan yang dulu kupikir akan kumiliki bersamamu.
Di desa terpencil ini, di antara sawah hijau yang luas, aku memulai hidup baru. Aku belajar berkebun, belajar menjahit, belajar melupakan. Tapi LUKA itu, luka yang kau torehkan di hatiku, tidak pernah sembuh.
Bertahun-tahun berlalu. Kudengar berita tentang kekaisaranmu. Kudengar tentang intrik istana, tentang pemberontakan, tentang kekalahan. Kudengar juga tentang penyakit misterius yang merenggut nyawa selir kesayanganmu, dan tentang kesedihanmu yang mendalam.
Lalu, datanglah surat itu. Sebuah surat tanpa nama, hanya ditandai dengan cap naga keemasan yang kukenal dengan baik. Surat itu berisi satu kalimat: "Bunga Kamelia Putih mekar lebih awal tahun ini."
Senyum pahit tersungging di bibirku. Bunga Kamelia Putih. Bunga yang dulu selalu kau berikan padaku. Bunga yang mengandung racun mematikan, jika disiapkan dengan benar.
Angin berdesir lembut, membawa aroma sawah yang basah. Aku berdiri di depan ladang kamelia putihku, memetik setangkai. Ini bukan aku. Ini adalah takdir yang menuntut keadilan.
Cinta yang dilukai meninggalkan bibit dendam yang kelam… dan bibit itu kini bersemi.
You Might Also Like: Beli Skincare Terbaik Untuk Pemula Bisa
0 Comments: