Lorong Istana Jade diliputi kesunyian. Dindingnya yang dihiasi lukisan naga dan burung phoenix seolah menahan napas, menyaksikan bayangan panjang menari di atas lantai marmer yang dingin. Udara terasa lembap, beraroma dupa cendana yang terbakar sayup-sayup, dan aroma anyir yang menyesakkan.
Lima belas tahun berlalu sejak tragedi itu. Lima belas tahun sejak Pangeran Zhao DIDUGA tewas dalam pemberontakan berdarah. Lima belas tahun sejak Putri Li Hua, tunangannya, mengunci diri dalam kesunyian abadi.
Namun, malam ini, di bawah rembulan sabit yang pucat, Zhao kembali. Bukan sebagai pangeran, melainkan sebagai bayangan.
"Kau… kau Zhao?" bisik Li Hua, suaranya berkarat seperti engsel pintu yang lama tak dibuka. Gaun sutra putihnya tampak lusuh, rambutnya tergerai tak terurus.
Zhao tersenyum tipis. Senyum yang tak mencapai mata. "Apakah kau merindukanku, Hua'er?" tanyanya, suaranya selembut sutra namun setajam belati.
Mereka berdiri berhadapan, dipisahkan oleh jurang waktu dan pengkhianatan.
"Semua orang percaya kau mati," kata Li Hua, menatap Zhao dengan pandangan kosong.
"Benarkah? Lalu, siapa yang selama ini mengirim surat tanpa nama padamu, menceritakan kisah-kisah rahasia yang hanya kita berdua yang tahu?" Zhao mendekat, bayangannya seolah hendak menelan Li Hua.
"Kau… kau tahu aku telah disakiti," Li Hua terisak, bahunya bergetar. "Kau tahu bagaimana mereka mengkhianatiku."
Zhao berhenti tepat di depannya. Matanya berkilat dingin. "Dan kau percaya aku akan membiarkan mereka lolos? Kau pikir aku akan membiarkan mereka mengambil tahta yang seharusnya menjadi milikku?"
Li Hua menggeleng pelan. "Aku… aku tidak mengerti."
Zhao mengangkat tangannya, menunjukkan sebuah pisau kecil yang berkilauan di bawah cahaya rembulan. Di bilahnya terukir nama-nama. Nama-nama para pengkhianat.
"Kau pikir aku kembali untuk membalas dendam?" tanya Zhao, suaranya nyaris berbisik. "Tidak, Hua'er. Aku kembali untuk MENUNAIKAN JANJI."
Dia mengulurkan pisau itu kepada Li Hua. "Kau memegang kendali, Sayangku. Kau selalu memegangnya."
Li Hua menatap pisau itu, lalu menatap Zhao. Setitik senyum merayap di bibirnya. Senyum yang DINGIN, senyum yang mengerikan.
"Lima belas tahun," bisiknya, suaranya kini terdengar jelas dan penuh tekad. "Lima belas tahun aku menunggu."
Dia mengambil pisau itu, dan di lorong Istana Jade yang sunyi, darah kembali mengalir.
Karena, ternyata, korban itu adalah dalangnya.
Dan teka-teki itu pun menemukan bentuknya: rencana ini sudah tertulis lama, jauh sebelum darah mengering di lantai istana.
You Might Also Like: Kau Menatapku Dengan Cinta Tapi Aku
0 Comments: