Air Mata yang Menjadi Embun Pagi Aula EMAS Istana Zhulong berkilauan di bawah terik matahari pagi. Namun, kemegahan itu terasa menyesakka...

Harus Baca! Air Mata Yang Menjadi Embun Pagi Harus Baca! Air Mata Yang Menjadi Embun Pagi

Harus Baca! Air Mata Yang Menjadi Embun Pagi

Harus Baca! Air Mata Yang Menjadi Embun Pagi

Air Mata yang Menjadi Embun Pagi

Aula EMAS Istana Zhulong berkilauan di bawah terik matahari pagi. Namun, kemegahan itu terasa menyesakkan, seperti jerat sutra yang menjerat leher. Di sanalah, Kaisar Li Wei berdiri, sosoknya tegak bagai gunung, matanya setajam elang yang mengawasi mangsa. Di sampingnya, berdiri Permaisuri Mei Lan, kecantikannya memukau, tetapi senyumnya menyimpan misteri yang tak terpecahkan.

Cinta mereka, sebuah simfoni yang BERBAHAYA. Kaisar Li Wei, seorang penguasa yang kejam namun penuh gairah, melihat Mei Lan sebagai satu-satunya kelemahan dan sekaligus kekuatannya. Mei Lan, di sisi lain, mencintai Li Wei dengan hati yang tulus, namun terkurung dalam sangkar emas kekuasaan. Setiap malam, di balik tirai sutra kamar pribadi, bisikan cinta menjadi perjanjian takhta. Setiap ciuman, adalah pertaruhan nyawa.

"Mei Lan," bisik Li Wei suatu malam, tangannya membelai rambut hitam legam permaisurinya. "Kau adalah segalanya bagiku. Demi kau, aku akan menaklukkan seluruh dunia."

Mei Lan tersenyum. "Yang Mulia terlalu berlebihan. Cukup lindungi aku dari intrik istana."

Namun, intrik istana lebih rumit dari yang mereka kira. Para pejabat licik, para selir yang haus kekuasaan, semua menari di atas panggung sandiwara politik. Bisikan pengkhianatan bagai angin malam yang menusuk tulang. Dan di tengah kekacauan itu, Pangeran Kedua, Li Xun, menaruh hati pada Mei Lan.

Li Xun adalah duri dalam daging bagi Li Wei. Ambisinya membara, dan cintanya pada Mei Lan menjadi alasan yang sempurna untuk merebut takhta. Ia mendekati Mei Lan secara diam-diam, menjanjikan cinta yang bebas dari kekuasaan.

"Permaisuri," bisiknya di taman bunga persik. "Kaisar hanya melihatmu sebagai pion dalam permainannya. Aku, aku akan mencintaimu apa adanya."

Mei Lan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Antara cinta dan kesetiaan, ia terpecah belah. Namun, ia tahu, memilih Li Xun berarti mengkhianati Li Wei, mengkhianati dirinya sendiri.

Suatu malam, fitnah dilancarkan. Mei Lan dituduh berkhianat pada Kaisar, bekerja sama dengan Li Xun untuk menggulingkannya. Li Wei murka. Tanpa mendengarkan pembelaan Mei Lan, ia menjatuhkan hukuman mati.

Namun, saat pedang algojo diangkat, sebuah keajaiban terjadi. Pasukan penjaga Istana yang setia pada Mei Lan muncul, menggagalkan eksekusi. Mei Lan, dengan tatapan dingin, menatap Li Wei.

"Kau salah menilaiku, Li Wei," ucapnya dengan suara MENGGEMA. "Kau pikir aku lemah, hanya boneka cantik dalam genggamanmu. Tapi kau salah. Aku adalah akar yang diam-diam menumbangkan pohon yang rapuh."

Ternyata, selama bertahun-tahun, Mei Lan diam-diam mengumpulkan sekutu, menyusun rencana balas dendam. Semua air mata yang ia tumpahkan, semua penghinaan yang ia telan, telah menjadi kekuatan mematikan. Kekuatan yang kini siap menghancurkan kekaisaran Li Wei.

Dengan gerakan anggun, Mei Lan mencabut tusuk konde dari rambutnya. Tusuk konde itu bukan sekadar perhiasan, melainkan belati tersembunyi yang dilapisi racun mematikan. Ia menusukkan belati itu ke jantung Li Wei.

Li Wei terhuyung, matanya memancarkan keterkejutan dan pengkhianatan. Ia jatuh ke lantai aula emas, darahnya membasahi ubin.

Mei Lan berlutut di sampingnya, air mata mengalir di pipinya. "Selamat tinggal, Kaisar. Selamat tinggal, cintaku."

Kematian Li Wei menandai akhir dari sebuah era, dan awal dari era baru. Era yang akan ditulis oleh tangan seorang wanita yang dulunya dianggap lemah, namun ternyata adalah RATU yang paling berbahaya.

Pangeran Li Xun mendekat dengan senyum penuh harap. "Permaisuri, sekarang kita bisa..."

Mei Lan menghentikannya dengan tatapan dingin. "Kau juga salah paham, Pangeran. Aku tidak melakukan ini untukmu."

Dengan satu perintah, pasukan Mei Lan menangkap Li Xun dan menjebloskannya ke penjara bawah tanah.

"Takhta ini," ucap Mei Lan, suaranya bergema di seluruh aula, "akan menjadi milikku."

Dan di saat itu, sejarah menulis ulang dirinya sendiri: Seorang wanita, yang dulunya hanya embun pagi, kini menjadi badai yang siap menyapu seluruh daratan.

You Might Also Like: Manfaat Moisturizer Lokal Dengan Sodium

0 Comments: