Hujan abu-abu menggantung di langit Suzhou, serupa dengan mendung yang bersemayam di hatiku. Paviliun teratai di tepi danau tampak sepi, ha...

TOP! Senyum Yang Mengandung Racun TOP! Senyum Yang Mengandung Racun

TOP! Senyum Yang Mengandung Racun

TOP! Senyum Yang Mengandung Racun

Hujan abu-abu menggantung di langit Suzhou, serupa dengan mendung yang bersemayam di hatiku. Paviliun teratai di tepi danau tampak sepi, hanya riak air yang menemani bisu. Lima tahun. Lima tahun sejak janji itu diucapkan di bawah pohon plum yang mekar, janji yang kini layu dan membusuk.

Li Wei berjalan mendekat, langkahnya ringan, hampir tak bersuara. Ia mengenakan gaun sutra putih, senyum manis menghiasi wajahnya. Senyum itu... senyum yang dulu kurindukan melebihi denyut nadiku, senyum yang kini terasa seperti serpihan kaca yang menghunus jantung.

"Lama tak jumpa, Qing," ucapnya, suaranya selembut beludru, namun matanya sedingin es.

Aku membalas tatapannya, berusaha menyembunyikan badai di dalam dada. "Wei, akhirnya kau datang."

Ia tertawa kecil, nada riangnya terdengar dibuat-buat. "Bukankah kau yang memintaku datang? Menemui di tempat kenangan kita?"

Aku menggenggam erat ujung jubahku. Kata-kata itu... kata-kata yang kuukir dalam surat yang kukirimkan padanya, surat yang berisi permohonan maaf, penyesalan... dan kebencian yang tersembunyi.

"Dulu, aku percaya padamu. Aku percaya pada janji kita untuk membangun desa bersama, untuk saling mencintai sampai rambut memutih," ujarku lirih. "Tapi kau memilih kekuasaan, kekayaan... kau memilih menjadi istri Jenderal Zhao."

Senyumnya tak luntur. "Itu demi desa, Qing. Demi keamanan mereka. Kau tahu, Jenderal Zhao memiliki kekuatan yang tak tertandingi."

"Keamanan? Atau kau lebih memilih kemewahan yang bisa ia berikan? Kekuatan yang bisa kau nikmati di sampingnya?" Suaraku bergetar, emosi yang selama ini kupendam akhirnya meledak.

Air matanya mengalir, namun aku tak percaya. Air mata buaya, pikirku. "Kau salah paham, Qing. Aku... aku terpaksa."

Aku tertawa sinis. "Terpaksa? Benarkah? Atau kau menikmati setiap detik menjadi nyonya Jenderal Zhao, menikmati setiap pujian dan kekaguman yang dilimpahkan padamu?"

Ia terdiam, senyumnya perlahan memudar. Untuk sesaat, aku melihat bayangan Li Wei yang dulu, gadis desa yang polos dan penuh cinta. Namun, bayangan itu segera lenyap, digantikan oleh wanita angkuh yang berdiri di hadapanku.

"Sudahlah, Qing. Masa lalu biarlah berlalu. Anggap saja kita tak pernah saling mengenal." Ia berbalik, siap untuk pergi.

"Kau salah, Wei." Aku menahan tangannya. "Masa lalu tak akan pernah bisa dilupakan. Karena masa lalu itulah yang membentuk kita saat ini."

Aku melepaskan tangannya, menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. "Kau tahu, istri Jenderal Zhao sering mengeluh sakit kepala belakangan ini. Dokter bilang, itu karena terlalu banyak pikiran... dan mungkin juga, karena teh yang diminumnya setiap pagi."

Ia menatapku dengan tatapan ngeri. "Apa maksudmu?"

Aku tersenyum, senyum yang mirip dengan senyumnya, senyum yang mengandung racun. "Tak ada, Wei. Hanya... nikmatilah sisa hidupmu."

Ia terhuyung mundur, raut wajahnya pucat pasi. Ia tahu. Ia tahu bahwa takdir sedang menuntut keadilan.

Hujan semakin deras, membasahi paviliun teratai. Aku membiarkannya berdiri di sana, di tengah badai yang sama dahsyatnya dengan badai di hatiku. Akhirnya, ia pergi, meninggalkan aroma lily dan... ketakutan.

Cinta memang bisa membunuh, tapi dendam, jauh lebih abadi, bukan begitu?

You Might Also Like: Tafsir Menyelamatkan Kadal Pohon Dalam

0 Comments: