Senja Merah di Tepian Sungai Wangi Hujan menggigil, persis seperti kenangan yang menusuk-nusuk tulangku setiap kali senja datang. Di tepi ...

Cerpen Seru: Tangisan Yang Menjadi Rindu Palsu Cerpen Seru: Tangisan Yang Menjadi Rindu Palsu

Cerpen Seru: Tangisan Yang Menjadi Rindu Palsu

Cerpen Seru: Tangisan Yang Menjadi Rindu Palsu

Senja Merah di Tepian Sungai Wangi

Hujan menggigil, persis seperti kenangan yang menusuk-nusuk tulangku setiap kali senja datang. Di tepi Sungai Wangi, aku berdiri, menatap riak air yang beriak-riak, membawa serta bayangan patah diriku. Di seberang sana, sebuah lentera menggantung di gerbang rumah besar milik keluarga Li – cahayanya nyaris padam, seolah tak sanggup lagi menahan beban malam.

Dulu, aku dan Lian Er sering bermain di tepi sungai ini. Kami berjanji, di bawah rindangnya pohon willow, bahwa cinta kami abadi, sekuat batu karang. Namun, batu karang pun bisa hancur diterjang ombak. Lian Er memilih tahta dan kekayaan, menikahi putri keluarga Zhang, dan meninggalkanku dalam gelap yang mematikan.

Lima tahun sudah berlalu. Lima tahun aku menahan sakit, lima tahun aku menyaksikan dia berbahagia di atas puing-puing hatiku. Setiap kali matanya bertemu mataku dalam pertemuan bisnis keluarga, aku melihat sedikit penyesalan, atau mungkin hanya pantulan dari rasa bersalah yang tak berarti.

"Lama tidak bertemu, Mei Hua," sapanya suatu sore, suaranya selembut sutra, tapi tajam seperti pisau.

Aku tersenyum dingin. "Lian Er Gege, apa kabarmu? Kudengar pernikahanmu bahagia."

"Bahagia?" Ia tertawa hambar. "Kebahagiaan adalah ilusi, Mei Hua. Sama seperti janjimu dulu."

Aku hanya mengangkat bahu. "Janji dibuat untuk dilanggar, bukankah begitu?"

Semakin hari, bayangan masa lalu semakin pekat. Aku sering melihat Lian Er termenung di taman, matanya kosong. Ia tampak seperti boneka yang kehilangan kendali, terperangkap dalam jaring yang ia buat sendiri.

Kemudian, aku mulai bertindak. Aku menyebarkan desas-desus tentang bisnis keluarga Li yang merugi, tentang perselingkuhan putri Zhang, tentang perjanjian rahasia yang merugikan keluarga Zhang. Aku memainkan bidak-bidak catur, dengan Lian Er sebagai pion yang paling rentan.

Satu malam, di tengah badai yang menggila, Lian Er datang menemuiku. Wajahnya pucat, matanya merah.

"Kau! Kau yang melakukan ini, bukan?" teriaknya.

Aku hanya tersenyum, di bawah cahaya rembulan yang mengintip di balik awan. "Mengapa kau begitu terkejut, Lian Er? Bukankah pengkhianatan dibalas dengan pengkhianatan?"

Ia terdiam, lalu berlutut di hadapanku. "Maafkan aku, Mei Hua! Aku... aku mencintaimu."

Air mataku mengalir. Bukan air mata penyesalan, bukan pula air mata kebahagiaan. Ini adalah air mata kemenangan. Air mata PALSUMU!

Aku membantunya berdiri, menyeka air matanya dengan lembut. "Dulu, mungkin aku percaya padamu. Tapi sekarang... sekarang aku hanya melihat seorang pria yang kehilangan segalanya."

Aku memeluknya, erat. Di balik pelukan itu, aku merasakannya. Denyut nadinya melambat, tubuhnya melemah. Racun itu bekerja dengan sempurna.

Ia terjatuh ke tanah, matanya menatapku dengan tatapan kosong. Aku berbisik di telinganya, "Selamat jalan, Lian Er. Semoga kau menemukan kedamaian yang tidak akan pernah kurasakan."

Aku meninggalkannya di tepi Sungai Wangi, di bawah guyuran hujan yang tak henti-hentinya. Cahaya lentera di gerbang rumah besar itu padam.

Dan saat fajar menyingsing, aku menyadari bahwa semua ini, semua yang terjadi, hanyalah permulaan. Aku masih harus menyingkap kebenaran tentang malam itu… tentang siapa yang membunuh ayahku.

You Might Also Like: Peluang Bisnis Skincare Modal Kecil

0 Comments: