Malam Terakhir: Sebuah Sonata yang Terlupakan
Kabut sungai membungkus Kota Terlarang, seputih kenangan yang mulai pudar. Di bawah rembulan yang mengiris langit bagai pedang perak, aku melihatmu. Siluetmu remuk di antara lentera-lentera merah yang bergelayutan seperti jantung-jantung yang berdetak terakhir.
Matahari telah lama tenggelam di balik cakrawala, namun tatapanmu membakar lebih terang dari seribu lilin istana. Kau menatapku di malam terakhir, dan aku tahu itu selamat tinggal. Bukan perpisahan yang diucapkan dengan kata-kata, melainkan bisikan jiwa yang meretas hening malam.
Wajahmu, sebuah lukisan dari mimpi yang tak pernah menjadi nyata. Bibirmu, dua kelopak mawar yang tak pernah sempat merekah sempurna. Senyummu, janji yang tertinggal di musim semi yang telah berlalu.
Dulu, di taman terlarang yang dipenuhi bunga plum—bunga yang rapuh seperti hati kita—kau berjanji akan menungguku. Janji yang terukir di pasir waktu, terhapus oleh ombak takdir yang kejam. Aku percaya padamu, sepercaya embun pada mentari pagi. Tapi, matahari itu tak pernah terbit untukku.
Kita bertemu di persimpangan waktu, dua ruh yang tersesat di labirin takdir. Cinta kita adalah melodi yang terputus, simfoni yang tak pernah selesai dimainkan. Sebuah lukisan cat air yang luntur oleh air mata.
Kau adalah ilusi terindah yang pernah kurasakan. Sentuhanmu bagai sutra yang menyentuh kulit, namun menghilang secepat mimpi di pagi hari. Setiap detik bersamamu adalah hadiah yang terlarang, curian dari langit yang murka.
Namun, di malam terakhir itu, ada sesuatu yang berbeda. Ada kebenaran yang tersembunyi di balik topeng kepura-puraanmu. Kau adalah seorang putri dari kerajaan yang jatuh, dijodohkan dengan seorang jenderal kejam demi menjaga perdamaian yang rapuh. Cinta kita adalah pengkhianatan, sebuah dosa yang tak terampuni.
Dan kemudian, sebuah pengungkapan: air mata jatuh dari matamu, bukan untukku, melainkan untuk kebebasan yang tak pernah kau miliki. Aku hanyalah bayangan, pengganti sementara bagi cinta yang sebenarnya, cinta pada dirimu sendiri. Itu adalah malam terakhir.
Malam itu, aku mengerti. Cinta kita adalah mimpi di dalam mimpi, ilusi di dalam ilusi. Kita hanyalah pion dalam permainan para dewa. Tapi, keindahan mimpi itu, meskipun palsu, tetap saja menyayat hatiku lebih dalam dari pedang manapun.
Apakah aku benar-benar mencintaimu, ataukah aku hanya mencintai ide tentangmu? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, di malam terakhir itu, saat kau menatapku dengan mata yang penuh penyesalan, sebagian dari diriku mati bersamamu.
Angin malam membawa bisikan... apakah kau masih mengingatku?
You Might Also Like: Is This Command Grammatically Correct
0 Comments: