Aula Emas Istana Qianyuan berkilauan di bawah ratusan lilin yang menyala. Namun, di balik kemegahan itu, tersembunyi udara berat, dipenuhi tatapan tajam para pejabat dan bisikan pengkhianatan yang merayap di balik tirai sutra. Di sinilah, di jantung kekaisaran, kisah cinta dan kekuasaan terjalin erat, menjadi permainan takhta yang mematikan.
Putri Mahkota Lian, anggun bagai bunga lotus di kolam yang tenang, dan Jenderal Zhao Yunlan, pahlawan perang yang namanya menggetarkan musuh, adalah dua bidak yang ditempatkan dalam posisi strategis. Cinta mereka, mekar di tengah intrik istana, seharusnya menjadi aliansi yang tak terkalahkan. Lian membutuhkan kekuatan Yunlan untuk melindungi dirinya dari perebutan kekuasaan oleh saudara-saudaranya yang haus darah. Yunlan membutuhkan legitimasi Lian untuk mewujudkan ambisinya: membawa kedamaian dan keadilan bagi rakyatnya.
Namun, di istana, tidak ada yang murni. Setiap senyum disembunyikan di balik perhitungan. Setiap janji bisa menjadi pedang yang siap menikam dari belakang. Lian dan Yunlan saling mencintai, tetapi mereka juga saling menguji, mendorong satu sama lain ke batas kesetiaan. Yunlan harus membuktikan bahwa cintanya pada Lian lebih besar dari ambisinya. Lian harus membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar boneka di tangan takdir.
"Aku mencintaimu, Yunlan," bisik Lian suatu malam, saat mereka berdua berdiri di balkon istana, memandang ke bawah pada kota yang tenang. "Tapi aku juga tahu bahwa kau adalah pria yang memiliki cita-cita besar. Jangan biarkan cintaku menghalangimu."
Yunlan meraih tangannya, mencium jari-jarinya satu per satu. "Cintamu tidak menghalangiku, Lian. Cintamu memberiku kekuatan."
Namun, bisikan pengkhianatan semakin kencang. Adik Lian, Pangeran Rong, diam-diam merencanakan kudeta. Ia tahu bahwa kunci untuk menggulingkan Lian adalah memisahkan dirinya dari Yunlan. Rong menyebarkan fitnah, menuduh Yunlan berkhianat dan merencanakan pemberontakan. Lian, terpecah antara cinta dan kewajiban, terpaksa menjauh dari Yunlan.
Yunlan, merasa dikhianati dan marah, nyaris saja jatuh ke dalam perangkap Rong. Namun, seorang pelayan setia membisikkan ke telinganya tentang rencana Rong yang sebenarnya. Yunlan menyadari bahwa Lian tidak mengkhianatinya; ia sedang melindunginya.
MALAM itu, Yunlan memimpin pasukannya ke istana. Pertempuran sengit terjadi. Aula Emas yang megah menjadi saksi bisu pertumpahan darah. Pada akhirnya, Yunlan berhasil mengalahkan Rong dan menghentikan kudeta.
Tetapi kemenangan ini datang dengan harga yang mahal. Lian, yang mencoba melindungi Yunlan dari Rong, terluka parah. Ia meninggal di pelukan Yunlan, mengucapkan kata-kata terakhir: "Aku mencintaimu... dan aku percaya padamu."
Kematian Lian mengubah Yunlan. Cintanya pada Lian berubah menjadi api balas dendam yang membara. Ia tahu bahwa Rong bukanlah satu-satunya yang bertanggung jawab atas kematian Lian. Ada kekuatan yang lebih besar, tersembunyi di balik tirai kekaisaran.
Dengan dingin dan perhitungan, Yunlan mulai membalas dendam. Ia mengungkap satu per satu rahasia gelap istana, membongkar konspirasi yang telah lama terpendam. Mereka yang menganggapnya lemah, mereka yang mengira bisa memanfaatkannya, kini merasakan murka Yunlan yang elegan, dingin, dan mematikan. Ia tidak menginginkan takhta; ia hanya menginginkan keadilan untuk Lian.
Yunlan membuktikan bahwa cinta bisa menjadi kekuatan yang luar biasa, tetapi balas dendam, yang lahir dari cinta yang hilang, bisa lebih dahsyat lagi.
Setelah semua musuh tumbang, Jenderal Zhao Yunlan, pahlawan sekaligus pembawa kehancuran, berdiri di Aula Emas yang kini berlumuran darah. Ia menatap patung naga yang menjulang tinggi di atas takhta, lalu tersenyum sinis.
Sejarah baru saja menulis ulang dirinya sendiri, dan tinta baru itu berbau… DARAH!
You Might Also Like: Langit Yang Menyapa Dengan Cahaya Baru
0 Comments: